Genap 40 tahun kutinggalkan Tanah Karo.

  Keperkenalkan dulu diriku, Aku lahir di Jalan Sakti, Kabanjahe.
 Di masa kecilku aku beda dengan saudara saudaraku dan anak anak sekelilingku. Aku tidak bisa menerima keadaanku yang serba ke kurangan. Dari itu, aku brontak dalam segala galanja. Sebab itu, saya rasain sebagai penindasan terhadap diri saya, terhadap kesadaran saya.
 Dimasa sekolah, orang tuaku tidak pernah menanjakan tentang sekolahku, bahkan dia tidak tau aku kelas berapa. Apalagi menanjakan Rapport, Ranking berapa? atau naik kelas?  apa cita cita saya?.

Begitulah waktu aku duduk di kelas 3 SMA, tak lama lagi akan tammat, aku sudah tau tidak akan melanjut ke Universitas. Seperti ceritaku diatas orang tuaku melantarkan tanggung jawabnja sebagai orang tua.
Orang tuaku itu seperti kebanjakan orang tua di Indonesia, mencetak anak tidak memikirkan berapa gajinja, dan berapa anak dia sanggup mengasuhnja.
Cetak asal cetak, hanja mengikuti hawa nafsunja. Ahirnja tidak bisa membutuhui kebutuhan anaknja dan menjekolahkannja. Di kaca mata orang berpikiran maju, ini namanja orang tua tidak punja otak.
Lantaran aku sudah tau, bahwa tidak akan melanjut ke Universitas, kuputuskan akan keluar dari Jln Sakti. Aku malu tinggal di Jln Sakti sebagai pengangguran.
Tapi kelur dari Jln Sakti kemana…? Itulah pertanjaan dalam otakku.
Aku menghayal: jikalau aku akan pergi, aku akan pergi jauh, jauh di suatu tempat. Aku mau menghilang. Aku tidak mau lagi di sebutkan namaku. Kenapa ..?: aku malu melihat diriku sendiri dan malu dilihat orang lain. Tiada apa apa yang bisa ku banggakan.

Waktu kecilku, semenjak duduk dikelas dua SD, aku sering menonton film Abri di hari Minggu. Film gratis untuk keluarga Abri di Kabanjahe.
Waktu itu, aku selalu ikut nebeng sama keluarga Abri. Ku pegang tangan anaknja sampe melewati penjaganja yang di jaga oleh tentara. Sampe di dalam ku lepaskan tangan anaknja. Di film itu, aku bisa menengok orang orang Eropa memakai mobil, berpakean necis, orangnja pun gagah gagah dan cantik, rumah rumahnja pun bagus. Waktu itu kubandingkan dengan diriku, hanja baju yang melekat di tubuhku dan hanja pake sandal jepit.
Aku bertanja pada diriku, kenapa orang orang Eropa itu dia bisa berpakean bagus sedangkan aku tidak. Dan dia bisa makan yang enak enak kenapa aku tidak. Semenjak kutonton film itu, jauh didalam lubuk hatiku, aku dibuatnja menghayal.
Sejak aku duduk di bangku SMP hobbyku membaca berita berita luar negri, di surat kabar Kompas dan Sib ( Sinar Indonesia Baru). Dari membaca itu, aku tau semua perkembangan di luar negeri seperti siapa presidennja, negara negara mana saja yang sedang perang dan politik luar negeri. Yang paling kusenangi membaca Perampokan Bank di Amerika dan Cerita Jack the Ripper pembunuh berseri di London.

    Begitu ada rencanaku keluar dari Jalan Sakti, teringat kembali hayalanku waktu masih kecil nonton Film Abri. Juga dari pengetahuanku membaca berita berita luar negegri dari surat kabar. Maka kuputuskan kalo keluar dari Jalan Sakti, aku akan Keluar Negeri, tidak akan ke Jakarta. 

Kenapa tidak ke Jakarta? Seperti ceritaku diatas, aku malu di lihat orang, aku mau menghilang, aku tidak mau disebutkan lagi namaku. Kalo aku ke Jakarta, pasti ada teman atau famili jumpa denganku. Dan dia akan menceritakan sama teman atau famili di kampung, bertemu denganku sebagai kondektur mobil, atau kerja pabrik di Jakarta, itulah aku tidak mau.
Maka kuputuskan aku akan pergi jauh, tidak di Indonesia. Aku akan ke Luar Negeri. Tapi bagaimana bisa ke Luar Negeri? Sedangkan Medan saja, aku tidak tau. Apalagi Jakarta, apalagi Luar Negeri, hal yang tidak mungkin.

    Di dekat rumahku ada kedai kopi, dia punja Atlas tua.

Setiap kali aku ke kedai kopi, selalu ku pinjam Atlas tua itu, untuk
ku pelajari dimana pulau pulau Indonesia dan dimana aku tinggal.
Di Peta tua itu, nampak pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan juga kulihat negara negara di Dunia ini, seperti Uni Sovet, Jerman, Amerika, Inggris, Jepang, Cina Thailand, Malaisya dan benua Australia, Benua Afrika.
Pertama ku pelajari pulau pulau Indonesia, darimana jalannja ke Luar Negeri. Kutengok pulau Jawa, mentok. Mentok arti kata, dari Pulau Jawa tidak ada jalan ke Luar Negeri, semua di kelilingi laut, kecuali pake kapal terbang.
Kutengok lagi Kalimantan, itupun sama, hanja diatasnja Negara Jiran Malaisya Timur, nampak kota Kucing, Kota Kinabalu, Sandakan, Tawao terus mentok lagi, di kelilingi laut.
Kutengok pulau Sulawesi itupun sama, juga dikelilingi laut. Pulau Ambon pun sama, terus jauh dibawahnja ada Benua Australia.
Setiap pulang sekolah aku ke kedai kopi, kupinjam Atas tua itu sama penjaganja seorang perempuan namanja, Butet. “Pinjam sekali Atlasndu Teet….” kubilang. Bersambung.