Jld 3. 40 tahun ku tinggalkan Tanah Karo.
Aku menuju Mobil Sutra yang telah menunggu kami bertiga.
Perasaanku waktu itu seperti di tangkap Polisi, resah, takut, mukaku pucat. Dengan cepat ku naiki Mobil Sutra itu, tidak memandang kiri dan kanan, lantaran hatiku masih bergrumuh.
Didalam Mobil Sutra itu, aku diam. Mataku menerawang jauh dengan tatapan kosong. Hatiku bertanja, “kemana saya pergi ini..?” Soalnja tidak ada gambaran yang akan kutuju, hanja Pulau Bintan yang selama hidupku belum pernah kudengar, dan pertama kali keluar kampung pula.
Ada yang tidak bisa kulupakan, sewaktu kami bertiga sudah diatas mobil Sutra itu, banjak mamak mamak se Jalan Sakti, mengucapkan selamat jalan pada temanku yang ke Jakarta menjumpai abangnja. Ada juga menjalamkan uang, sungguh sesak hatiku melihatnja. Begitu banjak orang, tiada satupun mengucapkan Selamat Jalan dan berjabatan tangan denganku. Bahkan orang tuaku sendiri dan familiku tiada satupun di antara kerumunan itu, ikut membrangkatkan kami. Sepertinja Hantu, Iblis, dan seluruh Anak Jalan Sakti benci padaku dan gembira atas kepergianku, dan mengolok olokku,
“itu si Yos diatas Mobil Sutra, duduk di bangku depan pula, itu.. ! dia lagi menunduk, mampus kau patatmu, tak usah ku tengok lagi kau di Jalan Sakti ini,” begitulah kurasakan dari caranja dia memandangku. Aku rasakan kala itu, terusir dari kampungku.
Di Kapal Tampomas kami tidur di deck, dengan penumpang yang penuh sesak, dan panas. Penumpangnja menampakkan wajah wajah ceria. Mungkin terbayang dalam otaknja, dia akan berjumpa dengan kekasihnja atau keluarganja atau terbayang kota Metro Politan, Jakarta.
Tapi lain halnja dengan aku, terbayang dalam otakku mungkin Hantu atau Kuntilanak yang menungguku.
Aku naik ke atas anjungan kapal, mau melihat lihat sekitarnja dari atas anjungan kapal itu, jelas terlihat penumpang penumpang dan pengantarnja.
Ada juga Grup Ben di atas, di sampingnja Kapal Tampomas. Dia lagi membawakan lagu lagu yg lagi hit pada jaman itu. Terahir dia menjanjikan lagu Sayonara, menandakan kapal akan berangkat. Maka para pengantar banjak yang menangis histeris, berteriak teriak, memanggil manggil nama Kekasihnja atau Familinja dan melambai lambaikan tangannja.
Begitu juga, penumpang melambai lambaikan tangannja pada pengantarnja, ada juga yang menangis.
Antara penumpang dan pengantarnja menjunjukkan kedua belah pihak merasa sedih yang amat dalam.
Tapi lain halnja dengan aku.
Tiada tangan yang melambai lambaikan padaku.
Tiada suara berteriak teriak, memanggil manggil namaku
Tiada air mata yang jatuh atas kepergianku.
Tiada muka yang bersedih atas kepergianku.
Tiada orang merasa kehilangan atas kepergianku.
Tiada orang menunggu atas kedatanganku.
Sungguh sedih, sungguh sesak, sungguh pilu hatiku kala itu. Hatiku berantakan tak berarah, terasa dunia seperti kiamat. Tiada seorang pun yang datang membalut hatiku yang luka, tiada seorang pun datang penawar luka hatiku. Mataku meneteskan air mata.
Aku pergi Somewhere, dan Kapal Tampomas meniupkan sulingnja. Booom…. booomm…dan pelan pelan mulai merenggang dari dermaga pelabuhan. Dan bangunan bangunan pelabuhan Belawan, sepertinja bergerak dan meninggalkannja.
Diatas anjungan kapal, aku duduk sendiri merenungi nasibku. Kulemparkan pandanganku jauh ke arah ufuk Utara, ke ufuk Selatan, dan Barat, sejauh mata ku pandang hanja lautan biru yang terbentang di hadapanku.
Aku bertanja pada diriku, ke ujung manakah kapal ini akan membawaku?. Apakah kapal ini membawa kematianku?. Apa akan ku hadapi di Tanjung Pinang? Apakah disana juga Manusia? Bertubi tubi pertanjaan di benakku. Tiba tiba aku terjaga dari lamunanku dan aku turun ke bawah Deck menjumpai temanku dari Jalan Sakti.
Pagi pagi buta, kapal Tampomas yang aku tumpangi dari Belawan, berlabuh ditengah laut. Dari kejauhan nampak dua gundukan muncuat diatas permukaan laut. Satu gundukannja kecil, satu gundukannja agak besar. Dalam hatiku, “itulah mungkin Pulau Bintan yang kotanja Tanjung Pinang?”
Perasaanku resah, gundah, sepertinja aku ke Tanjung Pinang akan di adili dan di hukum gantung.
Dari mic pengeras suara, terdengar,
“Saudara saudara yang tujuannja Tanjung Pinang, harap turun..!!”
Terdengar berulang ulang,
Bersambung..
Leave a Reply