Jld 2.
40 tahun ku tinggalkan Tanah Karo.
Begitulah setiap pulang sekolah, kupelajari Atlas Tua itu. Terutama pulau Sumatra, soalnja dekat ke Malaisya dan Singapore. Suatu hari, ada ku nampak Pulau Bintan, Pulau yang sangat kecil, kalo tidak seksama memperhatikannja tidak akan nampak, di dalam peta itu. Pulau Bintan ini sangat dekat ke Singapore dan Malaisya. Sepertinja hanja melangkahkan kaki saja, udah berada di Singapore.
Melihat Pulau Bintan itu, hatiku deg deg an. Aku berpikir, seandainja aku berada di Pulau Bintan ini, pasti ada berita dari Singapore atau Malaisya. Kalo sudah berada di Singapore, aku bisa jalan darat ke Malaisya, terus ke Thailand, terus Burma, India, Bulgaria, Jerman, Belanda, sampe ke negara negara Scandinavia sana tidak ada mentoknja. Aku sangat tertegun melihatnja, degupan jantungku pun langsung naik.
Dalam hatiku, aku akan ke Pulau Bintan ini, apapun resikonja.
Tapi bagaimana jalannja?… ongkosnja?…Siapa disana?..Ada apa disana?…
Apa disana manusia? atau Kuntilanak?, atau Harimau?. Semuanja berkecamuk dalam otakku. Selama hidupku belum pernah keluar kampung dan belum pernah mendengar Pulau Bintan dengan kotanja Tanjung Pinang. Kalo Jakarta, Bandung, Jogjakarta selalu ku dengar dari teman teman.
Tanja sana.. tanja sini…. orang bilang,
“Kapal Tampomas dari Belawan-Jakarta, berhenti di tengah laut menurunkan penumpang yang tujuannja ke Tangung Pinang. Ada kapal kecil akan menjemputnja.” Begitulah kudengar dari orang yg pernah ke Jakarta.
Begitulah tiap hari kupelajari peta itu, sampe ada teman bilang, ”anak e, tiap wari ngenen peta dahinna”, katanja dalam bahasa Karo.
Bahkan setiap kali aku buka peta itu, seakan akan aku sudah berada di luar negeri.
Setelah beberapa bulan ku pelajari peta itu, aku berbicara pada diriku sendiri, “aku akan pergi dari jalan sakti, biar apapun yang terjadi.”
Sekarang bagaimana caranja untuk ambil ongkos berangkat ke Tanjung Pinang.
Ku ketik satu surat dan di tanda tangani oleh kepala kampung Padang Mas, isinja: Kami mau membikin Pos Siskamling.
Waktu itu musim Pos Siskamling di Kabanjahe. Dengan surat itulah aku mengutip uang sumbangan pada masyarakat. Setelah terkumpul, dengan uang itulah aku bisa beli ticket Kapal Tampomas dan pergi Somewhere.

  Aku sudah nekad, aku akan ke Pulau Bintan biar apa pun yang terjadi. Siang malam pikiranku Pulau Bintan. Aku tidak bisa tidur. Hatiku  takut dan gundah gulana.  Bahkan setiap kali kuingat Pulau Bintan, degupan jantungku langsung melonjak keras. Untung saja, aku tidak mati ketika itu. Atau Tuhan minjimpan hidupku, supaya aku akan merasain getirnja perjalanan hidup ini.
Sering malam malam keluar untuk mendinginkan kepalaku, kepalaku  panas dan berdepuk depuk. Aku sangat takut, aku tidak bisa membayangkan dimana tempatnja yang aku akan tuju itu, 
 Aku akan pergi, tapi tidak ada alamat yang di tuju, dan tidak ada yang menunggu. 
Saya utarakan sama bapakku, bahwa aku akan pergi.
Dia, tanja:   "kemana kau pergi?”
Saya jawab: "Saya mau ke Pulau Bintan..!”
”Dia terdiam, mungkin hatinja gembira, sudah kurang satu mulut untuk di isi. Atau dia terdiam, lantaran tidak tau dimana itu, Pulau Bintan.”

  Tiba waktu pembrangkatan. 

Waktu itu, kami ada tiga orang dari jln sakti sama sama berangkat. Dua kawannku ini, dia ke Jakarta menjumpai Abangnja. Satu udah pernah ke Jakarta.
Lain halnja dengan aku, aku pergi Somewhere.
Sekitar jam 10 pagi, Mobil Sutra datang menjemput kami ke Jalan Sakti- terus Medan dan ganti mobil ke Belawan.
Saya ke rumah mengambil Tas Ransel yang kujahit sendiri. Kudapati bapakku dan mamakku lagi di kamar, pintunja tertutup, mungkin dia lagi bikin anak. Dia tidak keluar kamar untuk menjalamiku dan mengucapkan selamat jalan. Saya tau percis dia tau aku masuk rumah, soalnya rumah kami berlantai papan, kalo jalan dia atasnya papannya berkreok kreok.
Orang tua kurang ajar, biadab. Setiap kali kuingat peristiwa ini, airmataku selalu mengucur. Berat dan terluka prasaan ini menanggungkan.
Kutinggalkan rumahku dengan hati terkoyak koyak dan berjalan dengan muka menunduk. Kulewati gangku menuju mobil Sutra yang telah menunggu kami.
Bersambung..