Perjuangan Karo Area dan Medan Area Serta Apresiasi Presiden Soekarno dan Wapres M Hatta Atas Perjuangan Bumi Hangus Rakyat Karo
Catatan : Roy Fachraby Ginting SH M.Kn
Politik Bumi Hangus merupakan salah satu strategi militer yang sudah digunakan sejak peperangan zaman dahulu.
Taktik politik bumi hangus dilakukan untuk mengusir musuh atau mengagalkan serangan yang akan dilakukan.
Makna politik bumi hangus adalah strategi militer yang bertujuan untuk menghancurkan apapun yang mungkin berguna untuk musuh.
Taktik bumi hangus ini digunakan untuk menghancurkan aset apa pun yang dapat digunakan oleh musuh, biasanya mencakup senjata, kendaraan, situs komunikasi, dan industri yang jelas atau manufaktur.
Praktik ini dapat dilakukan oleh militer di wilayah musuh atau wilayah tempat asalnya sendiri pada saat negara atau daerah sedang diserbu oleh musuh.
Pada saat Agresi I Militer Belanda terhadap Republik Indonesia dengan melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area, termasuk Tanah Karo saat itu.
Tercatat pada tanggal 1 Agustus 1947, Bupati Tanah Karo Rakoetta Sembiring Brahmana memindahkan ibu negeri Kabupaten Karo ke Tiga Binanga, setelah tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi.
Namun sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan api.
Taktik bumi hangus ini, sungguh merupakan pengorbanan yang luar biasa dari rakyat Karo demi mempertahankan cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia.
Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki termasuk desa dengan segala isinya, termasuk juga semua rumah adat (atap ijuk) yang telah dibangun dengan cara gotong royong, semua menjadi abu dan tidak berbekas.
Karo Lautan Api menjadikan banyak para Simbisa Karo gugur di medan pertempuran. Untuk menghargai jasa para pejuang kusuma bangsa dari Karo, Presiden Soekarno, hanya menetapkan dua (2) Makam Pahlawan di Indonesia, yakni satu di Kota Kabanjahe dan satu lagi di kota Surabaya.
Pertempuran 10 November di Surabaya yang menjadi cikal bakal Hari Pahlawan dan bumi hangus di Taneh Karo menjadi salah satu penyebab rumah adat Karo “Siwaluh Jabu” yang merupakan warisan arsitektur leluhur Karo yang bernilai tinggi, dalam perkembangannya hanya tinggal sedikit saat ini.
Melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat Karo ini, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948.
Dalam catatan sejarah Kabupaten Tanah Karo di situs resminya juga dikisahkan bahwa wakil presiden Drs. Mohammad Hatta sempat singgah di Berastagi dan bertemu dengan para pejuang Tanah Karo beberapa hari sebelum peristiwa pembumihangusan tersebut, dalam perjalanannya pulang menuju Bukit Tinggi.
Adapun surat wakil presiden tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Bukittinggi, 1 Januari 1948
“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kuncintai”.
Merdeka…!!!
Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah perampasan secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO.
Tetapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.
Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Demikian pulalah tekad Rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.
Di atas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.
Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”.
Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia
Kunjungan Presiden Sukarno ke Tanah Karo (1951)
Sabtu 28 Juli 1951
Kunjungan Presiden Sukarno ke Tanah Karo
Kerumunan Besar di Kabandjahe
Presiden Berbicara
Presiden Soekarno memulai pidatonya dengan berterima kasih kepada orang-orang yang hadir di Kabandjahe di mana telah memenuhi tugasnya selama Revolusi dalam beberapa tahun.
Dia ingat bahwa ia berada di Kabandjahe pada 1 Januari 1949 sebagai tahanan. Kemudian dari Brastagi, di mana tentara Belanda telah menahannya delapan hari di kenderaan tertutup, ia dibawa melalui Kabandjahe menuju Prapat, “karena tentara Belanda telah mendengar bahwa orang-orang dari Kabandjahe dan Brastagi itu ingin membebaskan “bapak” nya”.
Sekarang – lanjut Presiden – Indonesia telah memperoleh kemerdekaannya.
Banyak yang harus dibangun di Kabandjahe, oleh kebijakan bumi hangus telah hancur, rakyat meminta bimbingan dan dukungan, dan siapa yang akan bisa melakukannya.
Rekonstruksi adalah tugas kita bersama, dan untuk ini kita harus bekerja keras. Kita sempurnakan menuju masyarakat adil dan makmur. Apa yang kita dapat bila kita merdeka namun rumah kita bocor dan tidak ada untuk makan…?
Bendera ini tidak bisa kita makan, sambil menunjuk tinggi merah dan putih di atasnya yang tertiup angin.
Presiden kemudian menunjuk ke beberapa spanduk, yang mencuat dari keramaian. Beberapa meminta perbaikan hidup pekerja Pekerjaan Umum, Presiden berjanji untuk perhatikan, tapi:
“Bukan hanya para pekerja Pekerjaan Umum, seluruh bangsa patut beroleh nasib yang lebih baik. Untuk itu kita bekerja, penuh tujuh jam sehari. “
Yang lain spanduk berisi penghapusan perang. (“Tidak Ada Perang”). Presiden menjawab bahwa meskipun tidak ada perang, tetapi masih ada gerombolan.
“Apakah kita merdeka, saat orang kebingungan menghapus ketakutan menghadapi gerombolan…? Bersama-sama kita harus memastikan keamanan, kita semua. SOB akan dihapuskan secepatnya Indonesia harus aman. ” Presiden Soekarno menyimpulkan untuk kembali bekerja keras.
Ke Berastagi
Setelah berpidato di Kabanjahe, Presiden Soekarno pergi ke rumah Bupati, di mana ia makan siang. Setelah kunjungan singkat ke Makam Pahlawan, perjalanan dilanjutkan ke Berastagi. Sepanjang perjalanan orang-orang menyambutnya dengan sangat antusias.
Sebelum tiba di Bungalow BPM, Presiden Soekarno menyinggahi bukit Gundaling. Sabtu malam, bertempat di pelataran Bungalow BPM dilakukan kegiatan menari bersama Presiden.
Minggu pagi pukul 8:00 Presiden Soekarno melanjutkan perjalanan Medan.
(Sumber dari Harian : Het nieuwsblad voor Sumatr, 30-07-1951)
Dapat kita simpulkan, bahwa Presiden pertama RI, Ir Sokarno dan Wakil Presiden Moh Hatta mengakui bagaimana heroiknya perjuangan laskar dan pejuang-pejuang karo yang dikenal, militan dan patriotisme NKRI.
Dalam dinamika politik nasional, Kabupaten Tanah Karo memiliki catatan menarik. Daerah ini merupakan basis massa nasionalis yang berafiliasi pada kekuatan politik Soekarnois sejak Pemilu tahun 1955.
Ketika itu Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Soekarno dan mengusung ideologi Marhaenisme ajaran Soekarno menang mutlak di Kabupaten Tanah Karo.
Prosentase suara yang diraih PNI dari Tanah Karo mencapai sekitar 90% suara. Pengurus PNI di Sumut pun didominasi orang Karo. Moment ini dapat dijadikan indikator bagi loyalitas politik warga Karo terhadap Presiden RI pertama tersebut.
Soekarno pun digelari ”Bapa Rayat Sirulo” oleh warga Karo, yang artinya Soekarno pemimpin yang membawa kemakmuran rakyat.
Melihat kembali sejarah lahirnya Pemkab Karo dan terungkap bahwa 8 Maret 1946 adalah hari jadi Pemkab Karo dan peranan Komandan Pasukan Napindo Halilintar, Mayor Selamat Ginting dalam peristiwa itu dengan cara menodongkan senjata dan mengarahkanya pelatuknya ke kepala Utusan Keresidenan Sumatera Timur, sembari berteriak “Mate tem”. Mungkin kisah lahirnya sebuah pemerintah kabupaten Karo yang paling dramatis di Indonesia tentu tidak akan terwujud, karena, tidak akan pernah ada Pemkab Karo, kalau tidak ada nyali berani menodongkan senjata dari Mayor Selamat Ginting. Itu fakta sejarah yang diakui akademisi dan pelaku sejarah.
Akibat peristiwa itu, kesepakatan tercapai, dengan penetapan Wilayah Kabupaten Karo disetujui dan ditandatangani, dengan bupati pertama disepakati dan langsung diangkat Rakoetta Sembiring Brahmana.
Demikian juga dalam peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta di bawah pimpinan Kolonel Maludin Simbolon yang memiliki banyak pengikut dari kota Medan dan di masa-masa genting tersebut, warga Karo justru tidak tertarik untuk ikut berpartisipasi melakukan pembangkangan terhadap NKRI.
Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Termasuk di Sumatera Utara yang merupakan kampung halaman Mayor Selamat Ginting yang merupakan Mantan Komandan Barisan Laskar Rakyat Napindo Halilintar dan tokoh PNI serta Pemberontakan tersebut bernuansa makar terhadap pemerintahan Bung Karno yang tentu merongrong kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selamat Ginting di gerakan oleh loyalitasnya terhadap Bung Karno dan NKRI, Mayor Selamat Ginting turut juga menghimpun para prajurit yang pernah menjadi anak buahnya dimasa revolusi untuk turut membantu TNI menumpas pemberontakan bersama tokoh kharismatik dari etnis Karo Letjen Djamin Ginting yang menegaskan haluan politiknya untuk berdiri di belakang Pemerintahan Soekarno dan NKRI.
Karena jasanya itu, Letjen Djamin Ginting diangkat oleh Soekarno menjadi Pangdam Bukit Barisan yang melingkupi seluruh wilayah Sumatera pada tahun 1957-1958.